Tuesday 17 April 2012

Teori Basis Data



1.1. Basis Data

Basis data dan teknologinya telah memainkan peran penting seiring dengan pertumbuhan penggunaan komputer. Basis data telah digunakan pada hampir seluruh area dimana komputer digunakan, termasuk bisnis, teknik, kesehatan, hukum, pendidikan dan sebagainya.

Kata basis data dapat didefinisikan sebagai kumpulan data yang saling berhubungan. Sedangkan kata data dapat didefinisikan sebagai fakta yang direkam atau dicatat. Sebagai contoh adalah nama, nomor telepon, dan alamat dari orang-orang yang anda kenal. Anda mungkin telah merekam data ini pada buku alamat, atau anda dapat menyimpannya dalam disket, menggunakan komputer personal dan perangkat lunak seperti dBASE IV,



1.1.1. Konsep Basis Data Relasional

Prinsip model relasional (relational model) pertama kali diperkenalkan oleh Dr. E.F Codd, pada bulan Juni 1970 dalam sebuah tulisannya yang berjudul “A Relational Model of Data for Large Shared Data Banks.” Dalam tulisan tersebut, Dr. Codd menjelaskan tentang model relasional untuk sistem basis data.

Model-model yang lebih populer digunakan pada saat itu adalah hierarchical dan network, atau bahkan simple flat file data stuctures. Relational Database Management Systems (RDBMS) segera menjadi sangat populer, terutama karena kemudahan penggunaannya dan fleksibilitas struktur datanya.

Selanjutnya, banyak vendor bermunculan untuk mendukung sistem ini diantaranya Oracle, dimana mendukung RDBMS dengan paket untuk keperluan membangun aplikasi dan produk-produk siap pakai, sebagai total solusi bagi keperluan pengembangan teknologi informasi.

1.1.2. Konsep Model Relasional

Konsep basis data model relasional memiliki beberapa definisi penting sebagai berikut:
* Kumpulan objek atau relasi untuk menyimpan data
* Kumpulan dari operator yang melakukan suatu aksi terhadap suatu relasi untuk menghasilkan relasi-relasi lain
* Basis data relasional harus mendukung integritas data sehingga data tersebut harus akurat dan konsisten

Contoh dari relasi adalah tabel. Kita dapat menggunakan perintah-perintah SQL untuk menampilkan data dari tabel.

1.1.3. Fungsi-fungsi Basis Data Relasional

Basis data relasional memiliki fungsi-fungsi kegunaan sebagai berikut:
* Mengatur penyimpanan data
* Mengontrol akses terhadap data
* Mendukung proses menampilkan dan memanipulasi data

1.1.4. Istilah-istilah Basis Data Relasional

Beberapa istilah yang perlu kita pahami mengenai basis data relasional antara lain:

* Tabel : Merupakan struktur penyimpanan dasar dari basis data relasional, terdiri dari satu atau lebih kolom (column) dan nol atau lebih baris (row).

* Row (baris) : Baris merupakan kombinasi dari nilai-nilai kolom dalam tabel; sebagai contoh, informasi tentang suatu departemen pada tabel Departmen. Baris seringkali disebut dengan “record”.

* Column (kolom) : Kolom menggambarkan jenis data pada tabel; sebagai contoh, nama departemen dalam tabel Departmen. Kolom di definisikan dengan nama kolom dan tipe data beserta panjang data tertentu.

* Field : Field merupakan pertemuan antara baris dan kolom. Sebuah field dapat berisi data. Jika pada suatu field tidak terdapat data, maka field tersebut dikatakan memiliki nilai “null”.

* Primary key : Primary key atau kunci utama merupakan kolom atau kumpulan kolom yang secara unik membedakan antara baris yang satu dengan lainnya; sebagai contoh adalah kode departemen. Kolom dengan kategori ini tidak boleh mengandung nilai “null”, dan nilainya harus unique (berbeda antara baris satu dengan lainnya).

* Foreign key : Foreign key atau kunci tamu merupakan kolom atau kumpulan kolom yang mengacu ke primary key pada tabel yang sama atau tabel lain. Foreign key ini dibuat untuk memaksakan aturan-aturan relasi pada basis data. Nilai data dari foreign key harus sesuai dengan nilai data pada kolom dari tabel yang diacunya atau bernilai “null”.

Teori Pengolahan Data



Pengolahan data adalah suatu system yang akan mengolah berupa bahan baku dan bahan-bahan yang lain menjadi kluaran berupa barang jadi.

Pengolahan data menurut George R. Terry, Phd adalah serangkaian operasi informasi yang direncanakan guna mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan. (Martin M. Lipschutz, 1990)
Sedang menurut Gordon B. Davis data adalah sebagai bahan mentah dari informasi yang dirumuskan sebagai kelompok lambang-lambang tidak acak yang menunjukan jumlah atau tindakan-tindakan atau hal (Gordon B. Davis, 1997)


Kualitas dari suatu informasi tergantung dari tiga hal yaitu:

1. Akurat berarti informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak bias atau menyesatkan. Akurat juga berarti informasi harus jelas mencerminkan maksudnya.

2. Tepat waktu berarti informasi yang datang pada penerima tidak boleh terlambat. Informasi yang sudah using tidak mempunyai nilai lagi

3. Relevan berarti informasi tersebut mempunyai manfaat untuk pemakaiannya

Sumber: http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/2119539-pengertian-pengolahan-data/#ixzz1sI0PdWhf

Kondisi Riil Sistem Perbankkan Saat ini



Tatkala Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik pada 20 Nopember 2008 dan disetujui oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sehari kemudian (21 Nopember 2008), publik pun sontak meradang dan mempertanyakan, bagaimana mungkin bank kecil seperti Century kok bisa ditetapkan sebagai bank sistemik yang mengharuskan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyisihkan dana Rp6,76 triliun untuk menyelematkannya (bail-out). Perihal sistemik atau tidak sebuah bank yang dinyatakan gagal oleh bank sentral memang masih menjadi bahan yang bisa diperdebatkan panjang lebar. Sebab, memang tidak ada aturan baku yang mengatur soal ini.

Selama ini untuk mengukur sistemik atau tidaknya sebuah bank hanya didasarkan pada penguasaan aset. Semakin besar aset sebuah bank akan semakin tinggi pula potensi sistemik bank itu bila harus ditutup. Pada poin ini, boleh dibilang semua pihak sepakat dan bisa menerimanya. Begitu pula sebaliknya, bank dengan aset kecil maka potensi sistemiknya rendah. Memang bila merujuk asumsi di atas, bahwa semakin kecil aset bank akan minim pula potensi sistemik yang dapat ditimbulkan adalah valid. Misalnya, ketika BI mencabut izin usaha Bank IFI pada 17 April 2009. Tidak terlihat adanya goncangan publik terhadap penutupan bank tersebut.


Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun segera memainkan peran sebagai penjamin dana nasabah. Ketenangan publik ini bisa terjaga karena situasi ketika itu memang kondusif di mana tidak ada goncangan seperti krisis ekonomi dan moneter.

Faktor krisis patutlah diperhitungkan karena situasi makro yang sedang labil berpotensi akan ikut menjadi pemicu dan pemacu sebuah krisis baru. Mencabut izin usaha sebuah bank beraset kecil sekali pun dikala krisis mestilah memperhitungkan efek psikologis massa (publik). Bila saat krisis ada bank ditutup meski tergolong kecil berpotensi besar berdampak sistemik. Bagi sementara pihak, soal ini pun masih hal yang bisa diperdebatkan. Sebab memang tidak ada parameter yang dipakai. Penilaian (judgement) dilakukan beradasarkan pertimbangan kualitatif. Tapi, bila melihat fakta di masa lalu, sewaktu menutup 16 bank yang hanya menguasai 3% dari total aset perbankan nasional pada November 1997, malah terjadi rush luar biasa terhadap hampir semua bank (besar dan kecil).

Bila pemerintah tak menenangkan kepanikan massa dengan menjamin semua dana nasabah, sistem perbankan akan rontok dan perekonomian nasional ambruk, bangsa ini pun hancur. Periode 1997/1998 adalah masa krisis ekonomi dan keuangan serius di republik ini. Peristiwa ini memberi pembelajaran berat bagi Pemerintah dan Bank Indonesia bila akan terpaksa (sekali) mesti mencabut izin sebuah bank. Manakala Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik, salah satu latar pertimbangan karena negara kita sedang menghadapi krisis yang sedang mendalam periode Oktober hingga Desember 2008. Bila Bank Century ditutup dalam situasi tidak krisis, dipastikan tidak berdampak sistemik.

Disinilah perdebetan itu berlangsung, yakni dalam hal kriteria sistemik yang dipakai. Untuk lebih memperjelas kriteria yang dipakai, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank (DPNP) BI memakai kerangka analisis sistem Memorandum of Understanding (MoU) Uni Eropa, 1 Juni 2008, Salah satu bunyi petikan MoU UE itu mengatakan: “...in a such situation, one may also need to place more reliance on qualitative judgements rather than on up-to-date quantitative information.” Inti pernyataan itu, bahwa penilaian kualitatif menjadi unsur lebih penting ketimbang informasi kuantitatif terkini. Pandangan MoU UE itu sudah barang tentu didasarkan pada pengalaman panjang mereka dalam menangani dan mencegah krisis keuangan. Ada 4 (empat) aspek yang dipakai MoU UE dalam menganalisis bank gagal yang ditenggarai sistemik: (1) Institusi Keuangan. (2) Pasar keuangan. (3) Sistem pembayaran, dan (4) Sektor riil. Terhadap keempat aspek itu, BI mengimbuhi satu aspek yakni faktor psikologis pasar. Sehingga total aspek yang dikaji menjadi lima. Penambahan aspek psikologi pasar tak lepas pengalaman krisis perbankan periode 1997/1998 yang sangat kental unsur psikologi pasar. Kelima aspek inilah yang dipakai BI untuk membuat kajian sistemik—baik kualitatif maupun kuantitatif—terhadap Bank Century.

Terhadap aspek institusi keuangan, parameter yang dipakai adalah porsi pinjaman antarbank, dana pihak ketiga, kredit, jumlah cabang, konsentrasi deposito atau kredit berdasarkan sektor dan wilayah. Terhadap aspek ini, BC memiliki kantor cabang sekitar 30 buah dan kurang lebih 65.000 nasabah tapi bank ini tidak memiliki keterkaitan dengan bank lainnya sehingga tidak signifikan karena penguasaan asetnya kecil. Pada aspek pasar keuangan, ukuran yang dipakai adalah rasio surat berharga yang dimiliki dibandingkan keseluruhan pasar, peran lembaga keuangan dalam pasar, tingkat kapitalisasi saham di bursa. Analisis pada bagian ini dikhawatirkan akan menimbulkan sentimen negatif di pasar keuangan, terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan pasar keuangan. Sedangkan pada aspek sistem pembayaran, ukuran yang dipakai adalah porsi volume dan nilai dalam sistem pembayaran. Nah, apabila bank ini ditutup dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya rush (flight to quality atau capital outflow) pada peer bank dan bank-bank yang lebih kecil sehingga akan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Hasil pemantauan memperlihatkan ada 18 bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas dan 5 bank mirip seperti Bank Century pun alami kesulitan likuiditas. Aspek sektor riil ukuran yang dipakai adalah penurunan deposit, penurunan nilai investasi akibat mark to market, penurunan akses kredit, kemacetan sistem pembayaran, kesulitan penarikan simpanan oleh nasabah bank.

Kredit BC ke sektor industri hanya 0,42% terhadap total kredit bank. Hasil pemantaun dan analisis: peran mengucurkan kredit ke sektor riil tidak signifikan. Kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil. Sedangkan pada aspek kepercayaan publik, salah satu ukuran yang dipakai adalah kemungkinan terjadinya bank runs, munculnya rumor negatif di pasar, terjadinya pemindahan dana ke bank atau aset keuangan yang berisiko lebih rendah. Analisa yang disampaikan BI, kegagalan BC dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan. Kelima aspek kajian sistemik sebuah bank gagal juga sudah terhisap dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Meski sudah dipaparkan kelima aspek tersebut yang menjadi landasan pengambilan putusan bahwa BC adalah bank sistemik, wilayah ini tetaplah menjadi isu kontroversial.

Padahal, pada sisi lain, kriteria penilaian dampak sistemik mengikuti prinsip constructive ambiquity. Maksudnya, bila kriteria sistemik dibuat sedemikian jelas merujuk data dan informasi yang bersifat kuantitatif, dikhawatirkan akan menimbulkan moral hazard karena dapat dijadikan acuan oleh eksekutif atau pemegang saham bank untuk mengiring bank yang dikelola menjadi bank gagal yang masuk kriteria sistemik dan diselamatkan LPS. Untuk itulah, penilaian dampak sistemik hanya dilakukan secara situasional dengan mengambil pertimbangan kondisi pasar keuangan dan perekonomian pada saat terjadi institusi keuangan mengalami permasalahan. Kriteria tak tertulis lain yang patut juga mendapat perhatian adalah pada aspek potensi semua dampak yang mungkin dapat diprediksi (all foreseeable effect). Memperhitungkan berbagai aspek jauh ke depan yang mungkin terkena dampak dari penutupan bank tetaplah ikut menjadi wacana dalam memperhitungkan sebuah bank gagal sistemik atau tidak. Semakin jauh ke depan analisisnya akan sampai pada kesimpulan sementara berupa ketidakpastian besarnya dampak.

Jika dalam hal menentukan sebuah bank gagal berdampak sistemik, analisa yang dilakukan adalah membaca tren kondisi makro ekonomi dan kondisi sistem perbankan dengan bingkai analisa merujuk MoU UE. Namun dalam praktiknya tidak semua kondisi tren yang dianalisis kecenderungannya dapat dibuat kuantifikasi merujuk informasi terkini (up-date information) sehingga analisa perlu dilengkapi dengan analisis yang bersifat judgment.

Teori Sistem Perbankkan



Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat penting dalam perekonomian. Secara umum, bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, bank merupakan lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman (kredit) dan atau bentuk lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Mishkin (2001: 8), secara sederhana menjelaskan bank sebagai lembaga keuangan yang menerima deposito dan memberikan pinjaman. Ia juga menjelaskan bahwa bank merupakan perantara keuangan (financial intermediaries), sehingga menimbulkan interaksi antara orang yang membutuhkan pinjaman untuk membiayai kebutuhan hidupnya, dengan orang yang memiliki kelebihan dana dan berusaha menjaga keuangannya dalam bentuk tabungan dan deposito lainnya di bank.


Financial intermediation merupakan suatu aktivitas penting dalam perekonomian, karena ia menimbulkan aliran dana dari pihak yang tidak produktif kepada pihak yang produktif dalam mengelola dana. Selanjutnya, hal ini akan membantu mendorong perekonomian menjadi lebih efisien dan dinamis.

Bank Indonesia (2006: 5), mengkategorikan fungsi bank sebagai financial intermediaries ini ke dalam tiga hal. Pertama, sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kedua, sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, dan yang ketiga, melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.

Beberapa karakteristik yang membedakan bank dengan non-bank financial intermediaries, menurut Bossone (2001), adalah sebagai berikut:

1. bank menciptakan likuiditas dalam bentuk bank’s own liabilities atau surat utang yang dibuat untuk peminjam. Bank tidak melanjutkan likuiditas yang sudah ada, tetapi menambah likuiditas sistem setiap saat bank mengadakan kredit baru kepada perusahaan melalui penciptaan deposit. Sedangkan non-bank financial intermediaries bertindak sebagai capital market intermediaries yang mengumpulkan likuiditas yang sudah ada (bank deposit) dari savers dengan long position dan menginvestasikannya pada investor dengan short position.

2. bank memberikan pengetahuan pada peminjamnya (borrowers) tentang operasi harian, kebutuhan likuiditas, aliran pembayaran, juga faktor jangka pendek dan pengembangan product market. Sedangkan non-bank mengembangkan pengetahuan tentang prospek usaha jangka panjang, investasi potensial, trend pasar (market trends), dan perubahan pada faktor fundamental ekonomi.


Bank memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian, terutama dalam sistem pembayaran moneter. Dengan adanya bank, aktivitas ekonomi dapat diselenggarakan dengan biaya rendah. Bank juga memiliki tiga karakteristik khusus yang berbeda dalam fungsinya bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Tiga hal tersebut menurut George (1997), adalah sebagai berikut.

Pertama, terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga kepercayaan untuk menyimpan dana masyarakat, bank berperan khusus dalam penciptaan uang dan mekanisme sistem pembayaran dalam perekonomian. Keberadaan perbankan memungkinkan berbagai transaksi keuangan dan ekonomi dapat berlangsung lebih cepat, aman, dan efisien.

Kedua, sebagai lembaga intermediasi keuangan, perbankan berperan khusus dalam memobilisasikan simpanan masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Hal ini akan memperbesar dan mempermudah proses mobilisasi dan alokasi sumber-sumber dana dalam perekonomian.

Ketiga, sebagai lembaga penanaman aset finansial, bank memiliki peran penting dalam mengembangkan pasar keuangan, terutama pasar uang domestik dan valuta asing. Bank berperan dalam mentransformasikan aset finansial, seperti simpanan masyarakat ke dalam bentuk aset finansial lain, yaitu kredit dan surat-surat berharga yang dikeluarkan pemerintah dan bank sentral.

Ketiga fungsi penting tersebut terkait dengan peran bank baik dari sisi mikro maupun makro. Dari sisi mikro, bank dibutuhkan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan menyimpan dana, memperoleh kredit dan pembiayaan lain, maupun dalam melakukan berbagai transaksi ekonomi dan keuangan. Dari sisi makro, bank dibutuhkan karena peran pentingnya dalam proses penciptaan uang dan sistem pembayaran, serta dalam mendorong efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter dan efisiensi alokasi sumber dana dalam perekonomian (Warjiyo, 2006: 431–433). Peran tersebut menempatkan bank sebagai lembaga keuangan yang berperan penting dalam pada sistem perekonomian kita.