Thursday, 19 August 2010

Wanita Haid Dan Puasa

Wanita Haid Dan Puasa

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
________________________________________
Sahkah Puasa Bila Haid Berhenti Sebelum Fajar
Tanya :
Jika haid berhenti sebelum fajar lalu bersuci, maka bagaimana hukumnya ?
Jawab :
Puasanya tetap sah bila wanita yakin bahwa haidnya berhenti sebelum fajar. Berarti yang penting ada keyakinan bahwa ia telah berhenti haidnya. Memang ada sebagian wanita yang mengira haidnya telah berhenti padahal tidak. Karena itu para wanita dengan membawa kapas (tanda bekas darah haid) datang kepada Aisyah untuk memperlihatkan tanda haid berhenti. Aisyah berkata : "Kalian jangan tergesa-gesa sebelum kalian melihat cairan putih".
Oleh sebab itu, seorang wanita yang terburu-buru berpuasa sebelum yakin dirinya telah berhenti haid. Ketika telah yakin tak berhaid, barulah berniat puasa walau mandi haidnya dilakukan setelah fajar. Tetapi sebaiknya setelah haid berhenti, hendaklah seorang wanita cepat mandi untuk segera shalat fajar tepat pada waktunya, sebab wanita haid wajib segera mandi untuk shalat pada waktunya bahkan ia berhak mempersingkat mandinya. Juga ia tak dilarang untuk menambah kebersihannya setelah terbit matahari. Hal seperti ini berlaku pula bagi yang junub, baik wanita atau laki-laki. Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi junub setelah fajar terbit padahal beliau sedang berpuasa.
Haid Setelah Hampir Terbit Matahari

Tanya :
Sahkan puasanya seorang wanita yang datang haid setelah hampir terbenam matahari ?
Jawab :
Puasa tetap sah bahkan jika tanda-tanda haid seperti panas dan sakit sudah terasa sebelum terbenam matahari namun tak terlihat keluar haid kecuali setelah terbenam, maka puasanya tetap sah. Sebab yang merusak puasa itu adalah keluarnya darah haid, bukan karena merasa akan haid.
Kami ketahui kebanyakan wanita yang memakai pil telah membingungkan kebiasaan waktu haidnya sehingga ulama pun merasa cape dalam menetapkan hukumnya. Maka saya sarankan sebaiknya para wanita jangan memakai pil-pil anti haid, baik dalam bulan Ramadhan atau lainnya.
Memakai Pil Anti Haid Pada Bulan Ramadhan
Tanya :
Bolehkan wanita memakai pil anti haid dalam bulan Ramadhan ?
Jawab :
Setahu saya wanita jangan menggunakan berbagai pil, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya, sebab ternyata menurut penelitian dokter pil-pil itu berbahaya bagi wanita; kandungan, urat-uratan dan darah. Segala yang membahayakan dilarang agama. Nabi bersabda.
"Artinya : Tidak boleh memadaratkan diri sendiri dan diri orang lain".
Haid Menghalangi Puasa dan Shalat
Tanya :
Bagaimana wanita yang datang bulan (haid) sebelum waktunya dan dengan pengobatan darah tersebut terhenti. Namun setelah delapan hari haid tiba pada waktunya, maka bagaimana hukumnya hari-hari yang kosong dari shalatnya ?
Jawab :
Wanita tersebut tak perlu qadla atas shalatnya bila membuat sebab turunnya haid, sebab haid itu darah. Ketika ada darah berarti ada hukum. Umpamanya ia menelan sesuatu yang menghalangi turunnya darah haid, maka ia tetap harus shalat dan puasa, sebab ia tak haid dan hukum itu berjalan menurut 'ilatnya. Allah berfirman :
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : 'Haid itu adalah suatu kotoran". (Al-Baqarah : 222)
Ketika ada kotoran itu maka hukumnya ada dan sebaliknya.
Qadla Bagi Yang Haid Bila Darah Haidnya Habis Sebelum Fajar
Tanya :
Jika haid telah berhenti dan ketika sudah tiba waktu shalat fajar (Shubuh) mandi baru dilakukan, lalu shalat serta terus berpuasa, maka mestikah puasa tersebut di qadla ?
Jawab :
Apabila yang haid bersih beberapa menit menjelang terbit Fajar dan diyakini bersihnya, maka puasa Ramadhan mesti dipenuhi dan sah serta tak wajib di qadla, karena ia puasa dalam keadaan sudah tidak haid walau belum mandi kecuali setelah terbit Fajar. Hal ini berlaku pula lelaki yang junub habis bersenggama atau keluar mani akibat mimpi lalu ia sahur dan bersuci setelah terbit Fajar. Kaitannya dengan hal ini, saya ingatkan hal penting bagi wanita, karena ada sebagian wanita yang menduga bahwa jika haid datang setelah mereka berbuka puasa sebelum shalat Isya adalah batal puasanya. Dugaan seperti itu tak ada dasar hukumnya, sebab yang benar adalah puasa tetap sah walau haid datang beberapa detik setelah terbenam matahari.
Peringatan Bagi Wanita haid Yang Tak Qadla Puasa
Tanya :
Seorang wanita mengakui bahwa dirinya selalu berpuasa Ramadhan, namun ketika haid tak pernah mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid tersebut, disamping tidak tahunya jumlah hari-hari haid, maka kini ia memintakan petunjuk apa yang wajib dilakukannya.
Jawab :
Alangkah malangnya andaikan hal seperti itu menimpa segenap wanita muslimah kita, sebab meninggalkan qadla puasa seperti itu adalah suatu bencana, baik karena sikap bodoh yang harus diobati dengan ilmu atau karena menyepelekan yang harus diatasi dengan taqwa, mendekatkan diri kepada Allah, takut akan siksa-Nya serta segera mendapatkan keridhaan-Nya. Karena itu, wanita seperti di atas hendaklah segera bertaubat kepada Allah atas perbuatannya dengan memohon ampun dan mengqadla atas hari-hari puasa yang ditinggalkannya secara hati-hati. Semoga Allah menerima taubatnya.
Wanita Nifas dan Puasa
Tanya :
Saya seorang yang baru nikah dan dianugrahi Allah dua anak kembar. Masa nifasku telah sampai empat puluh hari yang bertepatan dengan tanggal tujuh Ramadhan, tetapi darahku terus mengalir dengan perubahan warnanya, maka bagaimana hukum shalat dan puasaku ?
Jawab :
Jika darah yang mengalir setelah habis masa nifas (40 hari) dianggap bertetapan dengan kebiasaan waktu haidnya, maka hendaklah darah tersebut ditunggu sampai tuntas (selama masa haid). Jika tak bertepatan dengan masanya haid, maka ulama memperselisihkan hukumnya. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa ketika itu wanita wajib mandi bersuci, shalat dan berpuasa walau darahnya terus mengalir, sebab sebagai darah istihadhah (penyakit). Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu perlu ditunggu sampai 60 hari, sebab ada beberapa wanita yang bernifas selama 60 hari.
Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 196-199, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy

No comments:

Post a Comment